Soto Lamongan |
Sejak beberapa bulan yang lalu, sebagian pikiranku dibuat penasaran dengan keberadaan soto di Indonesia.
Iya, soto. Makanan berkuah dengan irisan daging ayam atau sapi, lengkap dengan sayur-mayur khasnya. Seperti sop.
Saat itu aku bertanya-tanya sendiri, tapi bodohnya, aku tidak mencari tahu lebih lanjut di internet. Padahal, koneksi internet adalah sesuatu yang menemaniku setiap hari.
Kemarin sore, pikiran tentang soto kembali menghampiriku saat aku berbuka dengan Soto Lamongan.
Dari mana sih asalnya soto? Kok bisa banyak banget di Indonesia, dengan ragam yang hampir bisa dikatakan mirip? Bagaimana proses penyebarannya? Sejak kapan ada di Indonesia? Apakah masakan asli Indonesia, atau serapan dari budaya lain?
Well, akhirnya aku mencari-cari di internet. Dan hasilnya cukup 'mengenyangkan' walaupun tidak detail.
Seperti yang sudah kutebak, kuah soto yang bening cukup memberi petunjuk bahwa soto memiliki hubungan khusus dengan kuliner Cina. Dan benar, meski baru kemungkinan.
Menurut Dennys Lombard dalam bukunya Nusa Jawa: Silang Budaya, disebutkan bahwa soto berasal dari Cina. Nama aslinya 'caudo', yang kemudian melunak dan berubah-ubah di lidah orang Indonesia, menjadi soto, coto, tauto, atau bahkan sroto.
Disebutkan pula, soto ini awalnya berkembang dari kota Semarang. Seiring dengan perpindahan penduduk, soto pun menyebar bersama mereka.
Tapi kemudian muncul pertanyaan-pertanyaan lain di kepalaku. Kalau memang caudo itu masakah Cina, kenapa ketika aku mencarinya di google, aku tidak menemukan sama sekali link yang membahas caudo sebagai makanan Cina?
Dari sedikit penjelajahanku di internet, justru aku menemukan bahwa masakan termirip soto yang menggunakan kata 'cau' adalah masakan Vietnam bernama 'Cau Lau' - meski pada masakan ini pun belum tentu menggunakan kuah. Atau justru lebih masuk ke Pho - semacam bakmi kuah a la Vietnam?
Bagaimanapun juga, sejarah soto memang bisa ditarik ke Cina. Tapi kalau menurutku lebih ke turunannya, yaitu Indocina, terutama dengan bahan jeruk purut yang menurutku khas masakah Indocina.
Pertanyaan berikutnya, setahuku Cina tidak hanya masuk ke Indonesia melalui Semarang. Bahkan mereka tersebar di seluruh dunia. Lantas kenapa caudo dan soto ini justru muncul dan populer di Semarang?
Padahal sebagai makanan Cina, seharusnya mereka akan muncul di banyak tempat, bahkan bisa dibilang tidak hanya di Indonesia.
Nah, kalau kita masih berpegang pada teori Indocina, berarti masih sesuai. Hanya saja, kenapa tidak ada Soto Aceh? Padahal akar makanan Aceh yang asam itu lebih sesuai ke masakan Indocina. Akar bahasanya pun, menurut temanku, lebih sesuai ke bahasa Laos, bukan Melayu. Apakah karena akar Aceh lebih banyak ke Laos, dan bukan Vietnam, tempat kutemukan Cau Lau?
Di sisi lain, keberadaan soto di berbagai penjuru Indonesia memang tepat apabila dihubungkan dengan penyebaran masyarakat Cina. Karena memang masyarakat Cina menyebar ke mana-mana.
Soto Solo |
Soto pun bertebaran dan bertransformasi menjadi Soto Ambon, Soto Bandung, Soto Banjar, Soto (Sroto) Banyumas, Soto Betawi, Soto Kediri, Soto Kudus, Soto Lamongan, Soto Madura, Soto (Coto) Makassar, Soto Medan, Soto Padang, Soto (Tauto) Pekalongan, Soto Semarang, dan Soto (Sauto) Tegal.
Dr. Lono Simatupang, antropolog dari Universitas Gadjah Mada, berpendapat bahwa soto merupakan perpaduan dari berbagai tradisi. Aku setuju. Kuahnya yang bening, khas Cina. Sementara bakmi dan soun yang ada di dalamnya, memang merupakan ciptaan Cina. Dan Indocina, tentu saja, mengadopsinya.
Menurutnya pula, soto juga terpengaruh tradisi India karena soto menggunakan kunyit. Menurutku, soto yang sangat terpengaruh kebudayaan India adalah soto yang menggunakan santan untuk campuran kuahnya - seperti Soto Medan dan Soto Kediri.
Selain itu, soto pun mengalami pelokalan, di mana di setiap daerah ada yang berubah demi penyesuaian agar dapat diterima di daerah tersebut. Seperti Soto Kudus yang menggunakan daging kerbau karena pengaruh Hindu di sana di mana sapi merupakan hewan suci.
Bahan-bahan lain dan rasa pun mengalami pelokalan. Itu yang membuat aneka soto bermunculan. Meski begitu, bisa dikatakan, penampilan dan rasa dasarnya tetap mirip.
Begitulah, meski penelitian instanku hanya dilakukan dengan internet, lengkap dengan diskusi bersama seorang kawan, aku cukup puas dengan hasilnya. Penelitian berlandaskan internet memang tidak dapat dijadikan sumber yang kuat, tapi bagiku cukuplah.
Walau, tetap saja, beberapa pertanyaan masih menggantung dan belum terjawab sepenuhnya.
Sumber (semua diakses pada tanggal 26 Agustus 2011):
- http://lamongan-kota.blogspot.com/search/label/Asal%20Muasal%20Soto
- http://en.wikipedia.org/wiki/Soto_%28food%29
- http://sejarawan.wordpress.com/2008/06/03/soto-akulturasi-cina/
- http://en.wikipedia.org/wiki/Ph%E1%BB%9F
- http://voraciousinvietnam.blogspot.com/, akses tanggal 26 Agustus 2011.
- http://chef-a-gogo.com/?tag=cau-lau
No comments:
Post a Comment